Irbar = Irian Barat

Uncategorized2234 Dilihat

Irbar = Irian Barat

Oleh Wirawan Azis

Palopo, 21 Mei 2023

Tulisan Irbar Pairing Senobua di SwaraLatimojong edisi Sabtu (20/5/2023) berjudul Toleransi Holistik, ternyata mendapat respon dari pembaca. Untuk itu, pada edisi kali ini, saya mencoba untuk memperkenalkan siapa Irbar itu.

Namanya Irbar. Lengkapnya; Irbar Pairing Senobua. Pairing adalah nama kakeknya. Sementara Senobua adalah marga keluarganya dari Toraja. Irbar lahir di Kota Palopo ibukota Kabupaten Luwu saat itu, pada Rabu 15 Agustus 1962. Ibunya seorang guru bernama Dorkas Likku Allo. Sedangkan ayahnya seorang polisi yang bernama Matta Senobua.

            Nama Irbar disebutkan adalah pemberian dari Solihin Gautama Purwanegara, yang lebih dikenal dengan Solihin GP. Kala itu Solihin menjabat Kepala Staf Kodam XIV Hasanuddin berkedudukan di Makassar dan sedang melakukan kunjungan kerja ke Tana Luwu. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1965 Pak Solihin diangkat menjadi Panglima Kodam XIV Hasanuddin hingga tahun 1968.

            Dalam kunjungan Solihin GP selaku Kepala Staf Kodam XIV Hasanuddin ke Tana Luwu, dia melakukan dialog-dialog singkat dengan para penjemputnya, terutama dari kalangan tentara dan polisi. Saat berdialog dengan seorang polisi;

“Nama ?” tanya Pak Solihin.

“Siap, Matta Senobua,” jawab sang polisi.

“Istri dan anak bagaimana, sehat ?” tanya Pak Solihin lagi.

“Siap. Istri sehat. Anak baru lahir tadi,” jawab Matta.

“Syukurlah. Kasih nama Irbar itu anakmu,” ucap Pak Solihin sembari menepuk-nepuk bahu sang polisi.

Kenapa Irbar ? Irbar tak lain adalah singkatan dari Irian Barat. Di hari yang sama, Rabu 15 Agustus 1962, itu di New York sedang berlangsung Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang menghasilkan Perjanjian New York dengan isi; Kesediaan pihak Belanda untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority), sebuah lembaga otoritas pemerintahan sementara bentukan PBB.

Perjanjian New York ini juga menjadi pertanda berakhirnya Operasi Trikora yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Operasi Trikora atau Tri Komando Rakyat berisikan: 1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua Belanda; 2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat; dan 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air. Operasi Trikora berlangsung dari Tanggal 19 Desember 1961 hingga 15 Agustus 1962.

Untuk melaksanakan Operasi Trikora ini, Panglima Tertinggi Presiden Soekarno membentuk beberapa operasi yang merupakan bagian dari Operasi Trikora ini. Diantaranya, pada tanggal 2 Januari 1962 dibentuk Operasi Mandala yang dipimpin Mayjend Soeharto. Dan oleh Soeharto, dalam melaksanakan perintah Operasi Mandala ini, direncanakanlah untuk melakukan serangan secara terbuka untuk membebaskan Irian Barat, yang diberi nama dengan Operasi Jayawijaya.

Tiga kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia, yakni; KRI Macan Tutul, KRI Harimau, dan KRI Macan Kumbang bergerak dari pangkalan laut Surabaya menuju Irian, untuk melakukan operasi infiltrasi. Sayang sekali, Operasi Jayawijaya ini ketahuan oleh pihak Belanda. Ahirnya pecahlah perang, yang dikenal dengan pertempuran Laut Aru. Ketiga kapal yang sedang mengemban tugas Operasi Jayawijaya mendapat serangan dari laut dan udara.

Pertempuran Laut Aru ini tercatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 15 Januari 1962. Dalam pertempuran ini, KRI Macan Tutul yang dipimpin Komodor Yos Sudarso dan Kapten Wiratno, berusaha untuk mengecoh lawan untuk menarik perhatian, agar dua kapal lainnya; KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang dapat melakukan manuver untuk menghindari serangan.

Dalam pertempuran tersebut, KRI Macan Tutul mendapat serangan dan mengenai kamar penyimpanan mesiu, yang menyebabkan tenggelamnya kapal tersebut. Seluruh prajurit yang ada di kapal KRI Macan Tutul dinyatakan gugur, termasuk Komodor Yos Sudarso. Peristiwa pertempuran Laut Aru ini diperingati sebagai Hari Dharma Samudera, pada setiap tanggal 15 Januari.

Perseteruan antara Belanda dan Indonesia atas wilayah Irian Barat, memang berlangsung cukup lama. Kurang lebih 17 tahun lamanya, terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Serentetan upaya diplomasi telah dilakukan untuk merebut kembali wilayah Irian Barat dari pihak Belanda.

Upaya diplomasi itu dimulai dengan Perundingan Linggarjati di Tahun 1946. Perundingan ini berlangsung dari tanggal 11 sampai 15 November 1946, dengan panorama Gunung Ciremai yang indah. Perundingan ini terjadi karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia, yang justeru menjadi pemicu konflik antara Indonesia dan Belanda. Setidaknya, ada 4 (empat) poin yang menjadi hasil Perundingan Linggarjati. Antara lain: (1) Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura; (2) Belanda harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); dan (4) RIS harus bergabung dengan Negara-negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda.

Disusul kemudian Perundingan Renville di Tahun 1948. Perundingan ini berlangsung di atas kapal perang milik Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Isi perjanjian Renville antara lain: (1) Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera; (2) Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS; (3) Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk; (4) Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.  

Selanjutnya Perjanjian Roem-Royen pada Tahun 1949. Perundingan ini berlangsung dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes Jakarta. Nama perundingan diambil dari pimpinan delegasi masing-masing. Indonesia dipimpin Mohammad Roem, dan Belanda dipimpin Herman van Roijen.

Setelah Perjanjian Roem-Royen ini, barulah Belanda mengakui kedaulatan atas Indonesia. Pengakuan kedaulatan dari Pihak Belanda ini tercatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 4 Agustus 1949. Isi pengakuan kedaulatan itu, bahwa seluruh wilayah Hindia Belanda menjadi wilayah Republik Indonesia kecuali Irian bagian barat atau Irian Barat. Sementara dari pihak Indonesia menginginkan, wilayah Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Hindia Belanda tanpa kecuali.

Irian Barat menjadi perhatian dunia. Indonesia tidak henti-hentinya melakukan upaya diplomasi, baik secara langsung kepada pihak Belanda maupun melalui pertemuan-pertemuan organisasi dunia seperti di Konferensi Asia Afrika atau pun melalui sidang umum PBB. Namun upaya diplomasi itu tak kunjung membuahkan hasil.

Akhirnya, Presiden Soekarno memerintahkan untuk melakukan operasi militer yang diberi nama Operasi Trikora. Dan terakhir, pada Tanggal 15 Agustus 1962, melalui sidang umum PBB disepakati lah Perjanjian New York yang isinya pihak Belanda menyatakan kesediaan untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Dan dalam waktu yang sama, Rabu tanggal 15 Agustus 1962, di Kota Palopo lahir seorang anak yang diberi nama Irbar.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed