Irbar dan Sungai Jodoh

Uncategorized995 Dilihat

Sugai Jodoh

Oleh Irbar Pairing Senobua

Palopo 1968-1974. Palopo, saat itu ibukota Kabupaten Luwu. Hanya terdiri atas satu kecamatan, yakni Kecamatan Wara. Akan tetapi luasannya sama dengan Kota Palopo sekarang ini. Luasnya 24.752 hektar. Terbentang dari Sampoddo di selatan, hingga jembatan miring di utara, sejauh 22 kilometer. Dan dari Pelabuhan Tanjung Ringgit di timur hingga perbatasan dengan Toraja di bagian barat, yang jauhnya sekitar 11 kilometer.

            Kurang lebih 13 tahun lamanya saya menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Palopo. Diawali dengan sejak masuk sekolah dasar. Di SD Kristen Palopo Tahun 1968. Lokasinya; menyatu dengan Gereja PNIEL. Gereja yang letaknya di sudut Lapangan Gaspa, titik ‘0’ Kota Palopo. Gereja ini tercatat sebagai gereja tertua di Kota Palopo. Dibangun di Tahun 1920.

            Menurut catatan, Gereja PNIEL ini dibangun di saat Misionaris Zending dipimpin oleh P. Zijlstra. Dia merupakan Misionaris ketiga di Palopo. Dimulai dengan kehadiran Anthonie Aris Van de Loodrecth, seorang misionaris Belanda yang tiba di Palopo awal Nopember 1913. Kurang lebih hanya empat tahun Loodrecth di Palopo. Dia meninggal pada 26 Juli 1917. Selanjutnya dia digantikan J. Belksma disusul kemudian P. Zijlstra.

            Gereja PNIEL Palopo dibangun atas bantuan dari GZB (Greeformeerde Zendings Bond) sebesar 12.000 gulden, setara dengan Rp100 juta sekarang ini. Ditambah dengan sumbangan dari umat nasrani sendiri. Gereja PNIEL ini terdiri atas tiga ruang utama. Pertama, ruang konsistory di bagian barat yang difungsikan sebagai tempat persiapan pelayanan gereja. Kemudian ruang umat yang didalamnya terdapat bangku jemaah, mimbar, serta lampu kristal yang berada di tengah. Ruang ketiga adalah balkon. Selain sebagai balkon, juga sekaligus menjadi menara yang berisi lonceng. Letaknya di bagian timur, menghadap ke arah terbitnya sang mentari pagi.

            Gereja PNIEL ini menjadi tempat saya bersembahyang di setiap Minggu pagi. Sebagai umat Kristiani, juga sesekali mendatangi Mess Lebang. Mess ini merupakan semacam rumah jabatan Misionaris yang bertugas di Palopo. Letaknya di atas bukit. Indah nian melihat Kota Palopo dari atas Mess Lebang ini. Mess ini terdiri atas dua bangunan. Di bagian depan, terdapat enam ruangan dan sebuah kamar mandi. Kemudian bangunan di bagian belakang terdapat dua kamar, satu dapur, dan tiga kamar mandi.

            Mess Lebang, menurut catatan yang ada dibangun di masa Misionaris H.C. Heusdens. Dia tiba pertama kali di Palopo pada tanggal 16 Juni 1930. Sehingga diperkirakan, mess ini dibangun pada tahun yang sama saat ketibaan Heusdens di Palopo. Dia memilih di atas bukit untuk membangun mess, karena pertimbangan istrinya yang mengidap penyakit TBC. Konon pengidap penyakit paru-paru ini lebih cocok tinggalnya di atas ketinggian atau bukit.

            Waktu masih kanak-kanak. Usia sekolah dasar. Umur tujuh sampai 12 tahun, tempat bermainku masih tidak jauh-jauh dari tempat tinggal. Kebetulan ayah saya seorang polisi. Tinggalnya kami di asrama polisi. Di depan asrama ini, mengalir saluran air yang cukup deras dan jernih. Di situlah saya dan teman-teman sebaya menghabiskan waktu, menghanyutkan diri dari hulu ke hilir. Mungkin sekitar setengah kilometer jauhnya.

            Kebetulan di hulu aliran saluran air itu, ada tinggal seorang teman sebaya. Dia putra seorang guru yang juga kepala sekolah. Ayah sang teman adalah rekan kerja ibuku yang juga seorang guru. Jadi lah saya dengan sang teman, berteman akrab. Namanya kebetulan juga Akrab. Tepatnya Andi Akrab.

            Ditanya tentang komentarnya tentang saya. Andi Akrab menulis begini, “Irbar itu sejak kecil sudah terlihat bakat pemimpinnya. Dia selalu dipilih untuk memimpin regu atau kelompok. Cuma dia itu suka usil. Kalau dilihatnya kita sudah asik bergembira ria, dia lantas berlari ke hulu. Entah apa yang dilakukannya di hulu. Selanjutnya dia datang dengan tertawa terbahak-bahak, tanpa diketahui apa yang dia tertawakan. Belakangan, baru kita ketahui ternyata dia ke hulu untuk buang air kecil bahkan air besar.”

            Pertemanan saya dengan Andi Akrab ini terbilang cukup lama. Mulai di saat masih kelas tiga sekolah dasar. Walau pun kami berbeda sekolah, tapi karena orangtua kami teman sejawat, sama-sama berprofesi guru, saya dan Andi Akrab menjadi sahabatan. Berlanjut kala sekolahnya di SMP 1 Palopo. Saya dan Andi Akrab, sekelas. Dari kelas satu sampai tamat kelas tiga. Saya pun selalu mereka pilih untuk menjadi ketua kelas. Mungkin seperti yang ditulis Andi Akrab, “Sejak kecil sudah terlihat bakat pemimpinnya.”

            Drainase atau saluran air di depan asrama Polisi juga mempunyai kenangan yang sulit untuk saya lupakan. Seusai banjir, maka hampir seluruh penghuni asrama mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, turun semua ke saluran air itu. Bukan untuk bermain air. Akan tetapi berlomba untuk menangkap ikan. Banyak ikan di saluran itu yang terperangkap bila seusai banjir. Ikannya besar-besar, dan banyak jenis. Mulai ikan karper atau ikan emas, ikan lele, sampai ikan gabus. Pesta bakar ikan kita, kalau selesai banjir.  

            Beranjak remaja, tempat favorit bermain pun mulai agak jauh dari tempat tinggal. Untuk seharian, sekaligus untuk mulai belajar berenang, kami memilih Sungai Boting. Tempat persisnya, di belakang rumahnya Opu Tani. Tepatnya Opu Andi Sulthani. Kemudian sesekali ke kolam renang Swimbath di Latuppa. Di kolam renang ini, kami lakukan lomba renang. Pemenangnya dapat bonus digendong. Cukup jauh juga gendongnya. Dari ujung kolam di utara, ke ujung selatan. Mungkin sekitaran 20 meter. Untungnya badan saya kecil, jadinya mereka tidak repot saat menggendongku. Yang repot itu, kalau saya yang kalah. Dipastikan saya akan terseok-seok saat menggedong salah satu dari mereka.

            Selain kolam renang swimbath, di Latuppa ini juga ada tempat rekreasi favorit ku. Yakni air terjun. Untuk sampai ke lokasi rekreasi air terjun ini, kami menggunakan sepeda. Dari titik kumpul, lebih sering di asrama polisi, butuh waktu setengah sampai satu jam untuk tiba di lokasi. Hanya saja, sepeda tidak dapat sampai benar-benar di dekat lokasi air terjun. Kurang lebih 50 meter lagi, sepeda mesti diparkir di kolong rumah penduduk. Selanjutnya kita berjalan kaki menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai.

            Tatkala menyusuri jalan setapak ini, terdengar suara siutan burung berbarengan dengan gemericik suara air terjun yang mulai terdengar secara samar dari kejauhan. Terdengar seperti harmoni musik, membuat suasana semakin indah dan nyaman.

            Di ujung bawah air terjun, terbentuk semacam kolam. Di kolam inilah kami bermandi-ria. Saling siram. Saling kejar-kejaran. Ada yang sembunyi dengan menyelam sedalam dan selama mungkin. Hampir setiap pekan kami ke air terjun ini. Namun terhenti tatkala seorang teman nyaris celaka. Dia menyelam ke kedalaman, dan tak kunjung muncul. Teman tersebut barulah dapat ditemukan dalam keadaan pingsan, setelah melibatkan penduduk setempat. “Seperti saya rasa ada yang tarik kaki ku,” begitu pengakuan sang teman setelah siuman dari pingsannya. Saya sudah lupa nama sang teman itu. Sejak kejadian yang nyaris merenggut nyawa teman tersebut, saya dan teman-teman berpindah mencari tempat bermain.

Di suatu hari, mungkin sudah kelas lima atau enam SD, saya dan teman-teman bersepakat untuk mencari tempat bermain lain. Tidak lagi di air terjun itu. Akan tetapi, kami tetap mengawali pencarian dari titik air terjun. Jadi star dari air terjun, kami telusuri aliran airnya kemana. Setelah perjalanan terasa sudah cukup jauh. Mungkin sudah dua hingga tiga kilometer dari titik star di air terjun tadi. Aliran sungai terbagi dua. Saya dan teman-teman bersepakat berbagi diri. Sekitar setengah jam setelah berbagi diri tadi, kami dipertemukan lagi. Artinya aliran sungai yang tadi terbagi dua, kembali bersatu lagi di suatu titik.

Karena merasa sudah cukup lelah dengan perjalanan menyusuri sungai, akhirnya kami bersepakat dengan teman-teman untuk mengahiri penelusuran aliran sungai. Di titik pertemuan dua aliran sungai itu lah, kami bermain. Berenang sambil kejar-kejaraan. Serta juga lomba bertahan di dalam air. Siapa yang bisa bertahan paling lama di dalam air, maka itu lah pemenangnya. Permukaan air di tempat ini, memang cukup dalam. Sehingga memungkinkan untuk melakukan itu. Berenang sambil kejar-kejaran, serta menyelam. Hari-hari selanjutnya, nyaris setiap pekan kami mendatangi tempat ini. Lokasi tempat kami bermain di masa kanak-kanak itu, justeru sekarang menjadi tempat rekreasi favorit. Sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Sungai Jodoh’.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *